Minggu, 24 Juni 2012

Konflik dayak dan etnik Madura, Contoh Makalah Konflik Pluralisme

HOME      ABOUT ME     CONTACT     NEXT BLOGS

Contoh Makalah Lengkap….!
·        Pemikiran Politik Soekarno



Konflik dayak dan etnik Madura, Contoh Makalah Konflik Pluralisme
I.                   Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah negara bangsa (nation-state) yang sangat majemuk dilihat dari berbagai dimensi. Salah satu dimensi menonjol dari kemajemukan itu adalah keragaman etnik atau suku bangsa. Bahar (1997), dengan mengacu pada data di Direktorat Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mencatat bahwa di Indonesia saat ini terdapat 525 kelompok etnik. Dalam sejarahnya, kelompok etnis tertentu biasanya mendiami atau tinggal di sebuah pulau, sehingga sebuah pulau di wilayah nusantara seringkali identik dengan etnik tertentu. Pulau Kalimantan, misalnya, identik dengan etnik Dayak (walau di dalamnya terdapat sekian banyak subetnik, dan karena itu konsep Dayak sesungguhnya hanyalah semacam sebutan umum untuk penduduk asli Kalimantan). Meskipun begitu, hubungan antara etnis yang satu dengan etnis yang lain telah berlangsung cukup lama seiring dengan terjadinya mobilitas penduduk antarpulau, kendati pun masih terbatas antarpulau tertentu yang letak wilayahnya strategis un-tuk urusan perniagaan.
Ketika kepulauan nusantara menjadi suatu bagian yang integral dalam perdagangan Asia, dengan rute perdagangan yang merentang dari Asia Barat Daya dan Asia Selatan  ke Tiongkok, dan ketika abad ke-4 dan ke-5 rempah-rempah dari kepulauan Indonesia —seperti merica, cengkeh, dan pala— menja-di komoditi dalam ekonomi dunia kuno, keterlibatan dalam perdagangan rempah-rempah meningkat-kan mobilitas antar pulau di kalangan penduduk nusantara. Mereka yang tinggal pada daerah-daerah strategis dalam jaringan perdagangan antarpulau, seperti Sulawesi Selatan, pantai timur dan barat Pulau Jawa, Sumatera Selatan, Ma-laka, dan Aceh kemudian tampaknya menjadi negara-negara atau kerajaan-kerajaan dagang kecil (Ko-entjaraningrat, 1993).
Jaringan perdagangan antar pulau itulah yang lebih sebagai as-pek determinan yang menghubung-kan penduduk dari berbagai pulau, yang berarti pula terjadi pertemuan antar anggota etnik tertentu dengan etnik lainnya. Dalam perkembangannya, seiring dengan meningkat-nya hubungan dagang serta berba-gai kontak antaretnik lainnya, mun-cul pula perkampungan-perkam-pungan etnis tertentu di sebuah pulau untuk kemudian hidup me-ngelompok dan membaur. Masing-masing etnis tersebut memiliki karakterisktik kebudayaan yang spesifik dari daerah asalnya yang umumnya masih dipegang dengan kuat. Dalam kehidupan sosial, ten-tu saja terjadi interaksi atau saling hubungan antaretnik, sehingga da-pat saling mempengaruhi antara sa-tu etnik dengan etnik lainnya.
II.                Rumusan Masalah
I.          Pengertian Konflik
II.       Konflik Di Dayak dengan etnik Madura
III.    Analisis Penyelesaian







PEMBAHASAN
I.                   Pengertian Konflik
Banyak definisi konflik yang dkemukakan oleh para pakar. Dari berbagai definisi dan berbagai sumber yang ada istilah konflik dapat dirangkum dan diartikan sebagai berikut: konflik adalah
(1) bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai, serta kebutuhan;
(2) hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan;
(3) pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, dan motifasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya;
(4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain perasaan serta fisiknya terganggu;
(5) bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada;
(6) proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau melemahkan pesaing;
(7) Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis; kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu.

II.       Konflik Di Dayak dengan etnik Madura
Di Kalteng, konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura pada awal 2001. Konflik tersebut, sebenarnya merupakan ulang-an dari konflik antara kedua etnik itu yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di Kalbar. Bahkan 8 atau 9 kali berturut-turut dalam waktu dari lima tahun. Kalau konflik itu dapat berkali-kali terjadi di Kalbar dan kemudian disusul di Kalteng maka ada dua hal yang perlu diperhatikan:
(1) penyelesaian konflik di Kalbar dulu tidak tuntas, artinya tidak dilakukan secara mendalam sampai pada akar-akar-nya;
(2) konflik  seperti yang teru-lang di Kalteng itu dapat terjadi lagi, mungkin di daerah lain.
konflik antara suku Dayak dengan Madura di Kalteng berada dalam hubungan antar kedua etnik. Di Kalbar dan Kalteng kedua suku itu hidup berdamping-an di suatu tempat atau lokasi dan mereka bisa melakukan interaksi. Dalam hubungan antara suku Da-yak dengan suku-suku pendatang selain suku Madura tidak ada masalah sosial atau ekonomi. Tetapi masalah yang bertentangan itu ada dalam hubungan antara suku Da-yak dengan suku Madura.
Pada dasarnya terdapat persamaan antara konflik etnik di Kalteng pada 2001 dengan yang terjadi di Kalbar pada 1999 dan sebelumnya, baik dalam stereotip etnik maupun pola penyerangan. Dengan mengacu pada model analisis kebudayaan dominan yang dikembangkan Bruner, penelitian Suparlan (2000), menyebutkan bahwa kekerasan etnik yang terjadi di Sambas karena adanya produk dan corak hubungan antaretnis yang didominasi oleh cara-cara kekeras-an yang terpola yang telah dilaku-kan secara sepihak oleh orang-orang Madura. Dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan orang-orang Melayu Sambas dapat dilihat sebagai imbas balik dari pendomi-nasian dengan cara-cara main ka-yu, ancaman, dan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Madura Sambas sebelum terjadinya keru-suhan Sambas. Kekerasan orang-orang Melayu Sambas terhadap orang-orang Madura Sambas yang berupa pembunuhan dan penghan-curan rumah serta segala harta milik mereka, secara simbolik dapat dilihat sebagai sebuah upacara pembersihan atau penyucian terha-dap kekotoran yang menimpa kehi-dupan mereka yang dikarenakan oleh keberadaan dan perbuatan-perbuatan orang-orang Madura.
Temuan penelitian Suparlan menunjukkan, hubungan antar et-nik yang relatif tidak berlangsung secara harmonis seperti yang terjadi antara Orang Melayu-Madura dan antara Orang Dayak-Madura di Sambas, hubungan antarpribadi atau perorangan di antara mereka tidak berlaku umum. Yang ada adalah hubungan antar stereotip yang berupa label yang dihasilkan dari hubungan antarkategori atau label yang tidak menunjukkan ciri-ciri kemanusiaan. Orang Madura dilihat oleh Orang Melayu sebagai kategori hewan yang kotor, yaitu anjing. Sebaliknya, Orang Madura melihat Orang Melayu sebagai penakut dan hanya kelihatan besar tetapi kropos seperti krupuk. Sedangkan Orang Dayak melihat orang Madura sebagai hewan hama dan buruan mereka yang rakus yaitu babi hutan, dan sebaliknya Orang Madura melihat Orang Dayak  sebagai kafir dan mahluk terbela-kang. Konflik antarindividu yang menghasilkan kerusuhan antar su-ku bangsa dan yang mewujud sebagai kekerasan dapat dipahami dengan mengacu pada stereotip sukubangsa yang mereka punyai masing-masing dan yang mereka gunakan. Yaitu, kekerasan telah terwujud karena pihak lawan tidak lagi dilihat sebagai kategori manusia atau orang-perorang tetapi sebagai kategori hewan atau benda yang sudah sewajarnya untuk dihancur-kan.
Kemudian, kesamaan yang cukup jelas antarkedua etnik baik di Sambas maupun di Kalteng adalah terutama dalam pola penyerangan terhadap orang-orang Madura sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Melayu dan Dayak terhadap mereka di Sambas pada 1999, yaitu bunuh orang-orangnya, hancurkan rumah dan harta bendanya, dominasi seluruh wilayah konflik dengan teror dan ketakutan, sehingga orang Madura harus mengungsi dari wilayah tersebut. Berbeda dengan orang-orang Melayu, tokoh-tokoh Dayak di Kalteng masih bersedia berdamai dengan orang Madura sebagaimana terjadi berulang kali di Sambas. Suparlan (2000), mempertanyakan mengapa kerusuhan massal tersebut baik antaretnis maupun yang bukan di masa dan setelah kejatuhan Orde Baru selalu terwujud dalam bentuk kekerasan? Hal itu terjadi dengan selalu didasari oleh adanya perasa-an tertekan dan ketakutan yang meluas dalam masyarakat, serta dipicu oleh adanya perlawanan yang dilakukan oleh korban pemalakan, atau kejahatan, atau tindakan se-wenang-wenang terhadap sumber kesewenang-wenangan tersebut.
Perlawanan yang dilakukan oleh orang-perorang berubah men-jadi perlawanan oleh kelompok, dan berkembang menjadi perlawanan massal yang berupa amuk massal. Karena perlawanan yang dilakukan oleh perorangan tersebut merupa-kan keinginan yang mendalam da-lam hati mereka yang juga merasa-kan penderitaan karena kesewe-nang-wenangan tersebut. Perlawan-an yang kemudian berubah menjadi amuk massa tersebut dapat dilihat sebagai puncak dari keberanian un-tuk menghancurkan ketakutan dan teror yang mereka derita secara massal yang sudah tidak tertahan-kan.
Dalam hubungan antara suku lokal Dayak dan suku pendatang Madura di Kalbar dan Kalteng tampaknya prasangka nega-tif dari suku Dayak terhadap suku Madura lebih mendalam daripada prasangka yang positif, kalau pun ada. Lagi pula unsur budaya suku Madura di bidang ekonomi yang lebih kuat ketimbang dalam kebu-dayaan suku Dayak membawa suku Madura pada tingkat dominan di atas suku Dayak. Suku Dayak merasa tidak senang di daerah asalnya sendiri didominasi oleh suku lain yang datang dari daerah lain. Sementara pada pihak suku Madura berpendapat bahwa masya-rakatnya memberi sumbangan be-sar pada perkembangan ekonomi umum, baik di Kalbar maupun di Kalteng. Tanpa kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua daerah itu tidak akan menjadi setinggi seperti sekarang.
Warga etnik Madura yang minoritas di tengah-tengah suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai pekerja keras sekaligus memiliki tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan terus berusaha menggalang kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat pula. Akan tetapi hal itu kurang diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi dengan suku Dayak, sehingga di mata orang-orang Dayak orang-orang Madura lebih dilihat sebagai orang asing. Dalam konteks demikian, jika kita bertanya mengapa suku Dayak bermusuhan dengan suku penda-tang yang Madura saja dan tidak suku pendatang lainnya? Menurut Soemardjan (2001), karena suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak, dan lain sebagainya pandai berakulturasi dengan suku Dayak, sehingga mereka dapat bekerjasama atau setidak-tidaknya berkoeksistensi dengan suku mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda dengan akibat konflik. Di antara kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik budaya. Semula bersifat laten (tertutup), tetapi lama-lama cukup kuat untuk meledak menjadi konflik manifest (terbuka) yang diwujudkan dengan interaksi yang berisikan permusuhan disertai keke-rasan yang tak terkendalikan.
Di samping itu, ada kecende-rungan orang-orang Dayak merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mere-ka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan juga me-mandang sebelah mata adat-istiadat yang mereka junjung tinggi sebagai pedoman etika dan moral dalam kehidupan mereka. Orang-orang Madura telah memperoleh keun-tungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan ekono-mi, jasa, dan bisnis, monopoli eksploitasi atas sumber-sumber da-ya alam yang ada) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat maupun seca-ra umum adalah salah dan secara hukum juga melanggar ketentuan hukum.
Jarak keyakinan, corak ke-budayaan, dan karakteristik ma-sing-masing yang sangat jauh itu ditambah dengan stereotipe dan/ atau label negatif dari masing-masing etnik terhadap yang lain menjadi penopang semangat dan keberanian yang luar biasa kedua belah pihak ketika terjadi peristiwa-peristiwa tertentu yang dinilai mengusik sentimentalisme etnisitas mereka. Kenyataan itulah yang sesungguhnya menjadi akar masa-lah dalam kerusuhan demi keru-suhan dan konflik demi konflik antara etnik Dayak dengan etnis Madura baik di Kalteng maupun Kalbar.
Agaknya karena begitu kuat-nya citra negatif terhadap etnik Madura oleh etnik Dayak, telah membangkitkan rasa nasionalisme etnisitas masyarakat untuk mengu-sir orang-orang etnik Madura dari bumi Kalimantan Tengah. Pasca tragedi Sampit, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya, lewat LMMDD-KT (Lembaga Musyawarah Masyarakat Masyarakat Dayak dan Daerah Kali-mantan Tengah), masyarakat etnik Dayak hampir tak memberikan sedikit pun peluang bagi orang-orang etnik Madura untuk kembali ke Kalteng. Kalau pun diperkenan-kan kembali, maka syarat-syarat yang ditentukan sangatlah berat. 
Dalam konteks stereotip etnis dan berbagai kekecewaan lainnya (misalnya di bidang ekonomi) dari orang-orang Dayak terhadap orang-orang Madura, maka hanya dengan latar pemicu yang sepele saja meledaklah kerusuhan dalam wajah konflik etnik Dayak-Madura di Sampit, Palangkaraya, dan Pangka-lan Bun, Kalteng pada awal 2001 itu, yang membawa ribuan korban nyawa dan terbanyak di pihak etnik Madura. Orang-orang Madura yang masih hidup baik yang tinggal di kota maupun yang tersebar di banyak desa di bumi Borneo itu terpaksa memilih lari keluar ber-amai-ramai karena jiwanya teran-cam, dan mereka itulah saat ini yang menjadi pengungsi di Pulau Madura.

III.    Analisis Penyelesaian
1)   Pertama, penyelesaiannya di-serahkan untuk ditangani oleh lembaga independen yang beranggo-takan tokoh-tokoh dari kedua etnik serta kalangan intelektual dan to-koh-tokoh kredibel dari pemerintah-an, yang difasilitasi sepenuhnya oleh negara. Lembaga ini diberi kewenangan untuk menemukan ke-sepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai dan kemudian mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang memungkinkan menata mereka kembali keharmo-nisan sosial dalam ketenangan dan rasa aman yang terjamin.
2)   Kedua, siapa pun yang diindi-kasikan kuat sebagai aktor-aktor intelektual di balik kerusuhan di Kalteng, baik dari kalangan etnis Dayak maupun Madura, harus ditangkap dan dibawa ke pengadil-an. Supremasi hukum harus dite-gakkan atas mereka.
3)   Ketiga, negara mesti mem-bantu warga etnis Madura untuk mendapatkan kembali hak milik mereka berupa aset ekonomi teru-tama yang berupa tanah serta rumah tempat tinggal. Juga mem-berikan kompensasi terhadap etnik Dayak untuk menjadi tuan di tanah nenek moyangnya sendiri. Mereka harus diberdayakan dari berbagai aspek kehidupan.
4)   Keempat, negara bekerjasama sama dengan lembaga swadaya ma-syarakat (LSM) melakukan sosiali-sasi dan kampanye terus-menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia sebagai bangsa majemuk berikut pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan di dalam masyara-kat. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah berupaya menghapus kesan negatif atau steoretip antara etnis Dayak dan Madura yang ada selama ini.
Hal itu semua dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi dalam hubungan antar etnis, yang diharapkan di mana semua pihak dapat belajar dari pengalaman sekaligus mampu me-rakit hubungan sosial secara damai kendati dalam seribu satu macam perbedaan.